PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perikanan merupakan salah satu
sumber yang sangat berpotensial sebagai sumber pertumbuhan ekonomi bangsa.
Sektor perikanan, pemanfaatannya masih sangant rendah. Padahal potensi ekonomi
sektor ini sangat besar, baik dari perikanan tangkap maupun budidaya, mengingat
negara kita adalah negara kepulauan yang 65% wilayahnya berupa lautan dan
memiliki garis pantai terpanjang didunia.
Potensi sumberdaya ikan lestari
diperkirakan 6,6 juta ton per tahun, terdiri 4,5 juta ton perairan nusantara
(pemanfaatannya baru 38%) dan 2,1 juta ton per tahun di perairan Zona Ekonomi
Eksekutif (ZEE) yang pemanfaatannya baru 20%. Tingkat pemanfaatan yang rendah itu
terjadi karena produksi perikanan nasional lebih dari 90% disumbangkan nelayan
dan petani ikan tradisional (nelayan
dengan perahu tanpa motor).
Berdasarkan laporan BPS (1993),
sebagian besar perahu yang digunakan untuk menangkap ikan adalah jenis perahu
tak bermotor. Pada tahun 1991, perahu tanpa motor sebanyak 373.086 buah. Perahu
dengan motor tempel sebanyak 81.940 dan kapal motor sebanyak 48.772 buah.
Oleh karena itu tidaklah
mengheranlkan apabila seringkali terdengar berita, baik media masa maupun media
elektronik bahwa nelayan asing mencuri kekayaan laut indonesia. Misalnya nelayan
thailand mengeruk kekayaan laut perairan Natuna, baik yang berupa ikan, terumbu
karang, maupun merusak lebih dari 1000 rumpon yang ditebar kelompok nelayan.
Kapal
mereka yang besar dan kemampuan menjelajah sampai jauh memudahkan untuk untuk
menjangkau kawasan manapun dari wilayah perairan kita. Mulai dari wilayah Aceh
di sebelah barat hingga kawasan Timur Indonesia. Kedatangan mereka bukan tanpa
alasan. Mereka dipandu dengan peta satelit yang setiap hari mereka peroleh.
Peta tersebut menunjukkan data lokasi “upweling” yang merupakan tempat
konsentrasi ikan di lautan.
Tujuan
Tujan dari pembuatan makalah ini
adalah agar dapat mengetahui pemanfaatan Sistem Informasi Geografis di Bidang
Perikanan Indonesia.
TINJAUAN
PUSTAKA
Penggunaan Data Satelit Untuk Mencaari
Konsentrasi Ikan
Peranan teknologi satelit dalam
melakukan observasi terhadap bumi dan antariksa dimulai sejak tanggal 1 April
1961, yaitu dengan diluncurkannya satelit TIROS-1 oleh Amerika. Dengan misi
utamanya melakukan penelitian cuaca (Rais, 1996).
Pada tahun 1972, Amerika meluncurkan
satelit EARTS (Earth Resources Technology Satellite) yang kemudian namanya
diganti dengan Landsat 1, 2, 3 dan seterusnya (Land Satellite). Satelite
Landsat yang sekarang masih beroprasi adalah Ladsat 5 dan akan iluncurkan
dengan Ladsat 6 (Rais, 1996).
Satelit Landsat 1, 2, 3 yang
merupakan satelit sumberdaya bumi generasi pertama merupakan satelit
eksperimental. Sedangkan Landsat 4 dan 5 merupakan satelit semioprasional
(Sutanto, 1987). Satelit Landsat 1, 2, 3 mempunyai liputan ulangan 18 hari
sekali atau resulusi temporalnya 18 hari. adapun Landsat 4 dan 5 resulusi
temporalnya 16 hari, artinya satelit ini melewati daerah yang sama setiap 16
hari sekali. Hal ini sagat baik untuk
memantau perubahan lingkungan yang terjadi.
Landsat 4 dan 5 dilengkapi dengan
sensor “Thematic Mapper (TM)”. Sensor TM bekerja dengan tujuh saluran. Salah
satu salurannya yaitu saluran tujuh bekrja pada panjang gelombang inframerah termal
(10.40-12.50µm) (Sutanto, 1987). Saluran tujuh ini mempunyai kemampuan
membedakan temperatur panas dan dingin. Oleh karena itu, daerah upweling yang
merupakan tempat terjadinya perubahan tempat terjadinya perubahan temperatur
dapat dideteksi dengan citra ini.
Satelit NOAA dilengkapi dengan
sensor AVHRR. Satelit ini membuahkan
citra dengan cakupan selebar 3.000 Km dengan resulusi spasial 1.1 Km (Sutanto,
1987). Sensor AVHRR pada satelit NOAA merekam dengan menggunakan lima saluran.
Salah satu salurannya yaitu saluran inframerah termal (10.5-11.5µm) dan (11.50-12.50µm)
digunakan untuk mendeteksi suhu permukaan laut. Dari satelit NOAA-AVHRR dapat
dilakukan perhitungan suhu permukaan laut yang sangat beranfaat untuk
mendeteksi lokasi terjadinya upweling dan pertemuan dua arus laut yang berbeda
suhu (front) (Rais, 1996). Satelit ini merekam daerah yang sama dua kali
sehari, dengan kata lain resolusi temporalnya 2 kali/hari.
Suhu permukaan air laut sangat erat
hubungannya dengan produktifitas primer dan arus. Perubahan suhu permukaan air
laut disebabkan oleh arus angin, kekeruhan air serta ombak yang biasa disebut
dinamika laut. Perbedaan suhu permukaan air laut juga dapat diamati dengan
teknologi penginderaan jauh (Budi, 1996).
Adalah suatu kesempatan untuk
melakukan pemantauan suhu permukaan laut pada study dan eksploitasi laut dan
wilayah pesisir, dimana aplikasi teknologi penginderaan jauh untuk oseanografi
telah mulai diperkenalkan sejak dua dekade terakhir. Data satelit visibel dan
radiometer inframerah yang di tujukan untuk oseanografi di luncurkan pertama
kali pada tahun 1978 dengan menggunakan wahana satelit TIROS. Di samping itu
terdapat banyak usaha dan penelitian untuk menentukan parameter mana yang
memungkinkan untuk dimanfaatkan oleh komunitas oseanografi yang disediakan
dengan wahana pesawat maupun satelit.(Hasanuddin, 1995).
Pengetahuan mengenai suhu permukaan
laut sangat bermanfaat untuk banyak hal yang terkait dengan penelitian lain
maupun aplikasi pemanfaatannya. Suhu permukaan laut merupakan salah satu faktor
utama penggerak siklus musim baik di daerah tripis maupun sub tropis dimana
suhu permukaan laut akan mempengaruhi kondisi atmosfer, cuaca dan musim, bahkan
munculnya fenomena El Nino dan Lanina dapat di pelajari melalui suhu permukaan laut.
Banyak lagi hal lain yang terkait dengan aplikasi yang dapat dipengaruhi oleh
suhu permukaan laut, diantaranya kesuburan perairan / laut serta bidang
perikanan.
Salah satu kendala utama pemanfaatan
data satelit NOAA untuk monitoring suhu permukaan laut adalah keterbatasan
panjang gelombang yang digunakan oleh
satelit dimana panjang gelombang yang digunakan tersebut sensitif terhadap
perubahan atau perbedaan suhu permukaan laut akan tetapi tidak bisa menembus
awan.
Satelit GOES atau satelit Lingkungan
Oprasional Geostasioner merekam hampir seluruh belahan bumi. Citra GOES dibuat
tiap setengah jam dengan menggunakan saluran tampak (0.55-0.70µm). saluran yang
terakhir ini merekam suhu permukaan air laut (sutanto. 1987).
Monitoring sumberdaya laut
menhendaki banyak data dalam selang waktu observasi tertentu (harian, mingguan,
bulanan maupun tahunan) yagn lebih dikenal dengan analisi multitemporal. Dengan
menggunakan data satelit pengindraan jauh dapat dilakukan dengan mudah. Cepat
dan murah, mengingat observasi laut lepas selalu memerlukan usaha berat. Waktu
yang lama dan biaya yang sangat mahal (Rais dkk., 1996).
KESIMPULAN
Kesimpulan
Meskipun
pemerintah telah melakukan deregulasi perikanan dengan melonggarkan prosedur
operasional kapal penangkapan ikan, misalnya memberikan peluang pengusaha untuk
mengekploitsai potensi perikanan lebih leluasa tetapi masih ada masalah yang
sangat mendasar, yakni sumberdaya manusia yang merupakan pelaku utama dalam hal
penangkapan ikan.
Untuk mengetahui tempat ikan
berkumpul dilaut dapat dipandu dengan data setelit, baik Landsat, NOAA, GOES
maupun satelit lain yang dapat menunjukkan dimana konsentari ikan terjadi. Apa
lagi dengan berdirinya stasiun bumi di pekayon dan stasiun pare-pare, maka
ketersedian data satelit yagn dapat menyajikan informasi konsentrasi ikan di
seluruh wilayah Inonesia.
Saran
Perlu ditingkatkannya kerja sama
antara pemerintah dengan perusahaan yagn bergerak di bidang perikanan.
Pemerintah dalam hal ini adalah LAPAN dan BPPT menyediakan data mengenai lokasi
upweling di seluruh wilayah perairan Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Budi, S. 1996. Deregulasi Perikanan Dan Revolusi
Baru, Dalam Harian Republika. Senin 15 Juli 1996.
Hasanuddin, Z, A. 1995. Penentuan Posisi Dengan
GPS dan Aplikasinya. Pradnya paramita. Jakarta.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jambatan.
Jakarta.
Rais, Y. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya paramita. Jakarta.
Sutanto. 1987. Pengindraan Jauh Jilid 2. UGM
press. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar